Haid Sebelum Thawaf Ifadhah
Apa yang harus dilakukan, ketika seorang wanita mengalami
haid, sementara dia belum thawaf ifadah?.
Dari A’isyah radhiyallahu ‘anha, beliau menceritakan
bahwa ketika haji, A’isyah mengalami haid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menemuinya ketika A’isyah sedang menangis,
”Kamu kenapa, apa kamu haid?”
tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
”Ya.” jawab A’isyah
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Sesungguhnya haid adalah perkara yang telah
Allah tetapkan untuk putri Adam. Lakukan seperti yang dilakukan jamaah haji,
hanya saja kamu tidak boleh thawaf di Ka’bah sampai kamu suci.
(HR. Bukhari 294 dan Muslim 1211)
Dalam hadis yang lain juga dari A’isyah radhiyallahu
‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat laporan, bahwa Shafiyah
radhiyallahu ‘anha mengalami haid. Kemudian beliau bersabda,
”Waduh! Kamu bakal jadi sebab kami menunggu.
Apakah kamu sudah thawaf ifadah di hari raya (10 Dzulhijjah)?
”Sudah.” jawab Shafiyah.
”Silahkan pulang.”
(HR. Bukhari 5329 & Muslim 1211).
Hadis ini menunjukkan bahwa andai Shafiyah belum
melakukan thawaf ifadhah sebelum mengalami haid, tentu ini menjadi sebab beliau
tertahan untuk tinggal di Mekah hingga suci. Sehingga hadis ini menjadi dalil
mayoritas ulama, diantaranya Imam Malik, Imam as-Syafii, dan Ahmad dalam salah
satu riwayat, bahwa suci dari hadats termasuk syarat sah thawaf. Karena itu,
bagi wanita yang mengalami haid, dan memungkinkan baginya untuk menunggu hingga
suci, misalnya karena haidnya sebentar atau dia tinggal di sekitar Mekah, atau
kepulangan dia masih lama, maka dia harus menunnggu suci untuk melakukan thawaf
ifadhah.
Bolehkah Thawaf dalam Kondisi Haid karena Terpaksa
Yang menjadi masalah adalah, bagaimana jika
tidak memungkinkan baginya untuk menunggu? Bolehkah dia thawaf dalam keadaan
haid?
Sebelumnya, di samping pendapat mayoritas ulama, di sana
ada ulama yang berpendapat bahwa suci dari hadats, bukan syarat sah thawaf.
Diantara yang menguatkan pendapat ini adalah Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad
dalam salah satu riwayat.
Syaikhul Islam pernah ditanya tentang wanita yang
mengalami haid sebelum thawaf ifadhah. Kemudian beliau menyebutkan perbedaan
pendapat di atas, selanjutnya beliau mengatakan
Menurut mereka – yang memilih pendapat kedua – mengatakan
bahwa jika ada orang yang thawaf dalam keadaan junub, berhadats, atau membawa
najis, maka thawafnya sah, namun dia wajib membayar dam (menyembelih). Hanya
saja, para ulama madzhab hambali berbeda pendapat, apakah ini berlaku umum
untuk semua orang yang memiliki udzur karena lupa sedang junub? Sementara itu,
Abu Hanifah mewajibkan adanya dam berupa sapi, apabila thawaf dalam kondisi haid
atau junub. Oleh karena itu, wanita yang tidak mungkin melakukan thawaf kecuali
dalam keadaan haid, lebih layak untuk mendapatkan udzur (thawaf dengan haid).
(Majmu’ Fatawa, 26/242)
Kemudian beliau menyebutkan beberapa alasan, mengapa
wanita boleh thawaf dalam keadaan haid karena terpaksa.
Haji termasuk amal wajib, dan tidak ada
satupun ulama yang mengatakan bahwa wanita haid tidak wajib haji. Dan bagian
dari prinsip syariah, kewajiban tidak menjadi gugur disebabkan karena tidak
mampu memenuhi salah satu syaratnya. Sebagaimana orang yang tidak mampu bersuci
ketika hendak shalat, dia tetap wajib shalat meskipun dengan tayamum atau
bahkan tanpa wudhu dan tayamum, seperti orang yang lumpuh dan tidak ada yang
membantunya.
Haid yang dialami para wanita, sama sekali
bukan kesalahannya. Murni ketetapan dari Allah. Karena itu, pendapat yang
mengatakan bahwa dia harus kembali ke rumahnya dan melakukan qadha haji di
tahun berikutnya adalah pendapat yang tidak benar. Karena berarti mewajibkan
wanita ini dua kali safar haji disebabkan sesuatu yang itu bukan berasal dari
kesalahannya. Dan ini tidak sejalan dengan prinsip syariah
Wanita tidak mungkin berangkat haji kecuali
bersama rombongan. Sementara rutinitas haid datang pada waktu yang dia
terkadang tidak tahu. Sehingga bisa jadi, ketika dia berangkat di tahun
berikutnya, dia juga mengalami haid. Sehingga sangat sulit baginya untuk bisa
thawaf dalam kondisi suci.
Bagian dari prinsip syariat bahwa orang yang
tidak mampu memenuhi semua syarat ibadah, maka syarat itu menjadi gugur
baginya. Sebagaimana ketika seseorang tidak bisa berjalan atau naik kendaraan,
dia boleh ditandu untuk thawaf. Karena Allah berfirman,
”Bertaqwalah kepada Allah semampu kalian.”
(QS. at-Thaghabun: 16)
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Apabila aku perintahkan kalian untuk
melakukan sesuatu, maka kerjakanlah semampu kalian.
(HR. Bukhari 7288).
(Majmu’ Fatawa, 26/242)
Keterangan Imam Ibnu Utsaimin
Imam Ibnu Utsaimin menjadikan keterangan Syaikhul Islam
di atas sebagai landasan fatwa beliau, bahwa diperbolehkan seorang wanita
melakukan thawaf ifadhah dalam kondisi haid karena terpaksa. Hanya saja, beliau
memberikan solusi sebelumnya, dengan menggunakan obat pencegah haid. Jika darah
tetap keluar, dia bisa thawaf dalam keadaaan haid. Beliau mengatakan,
Seorang wanita belum thawaf ifadhah dan dia mengalami
haid, sementara dia tidak mungkin menetap di Mekah atau tidak mungkin kembali
ke Mekah jika dia pulang sebelum thawaf, maka dalam kondisi ini, dia boleh
menggunakan solusi salah satu dari dua pilihan:
(1) Dia
menggunakan suntik untuk menghentikan haid, sehingga dia bisa thawaf
(2) Dia
menggunakan pembalut penyumbat untuk menghalangi tetesan darah menempel di
masjid, dan dia boleh thawaf karena terpaksa
Dan pendapat ini adalah pendapat yang kuat dan yang
dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. (Fatawa Islamiyah, 2/517)
Allahu a’lam.
Dijawab oleh: Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan
Pembina Konsultasisyariah.com)
(Ustadz Ammi Nur Baits Beliau adalah Alumni
Madinah International University, Jurusan Fiqh dan Ushul Fiqh)
0 komentar:
Posting Komentar