Minggu, 04 Agustus 2019

Haid Sebelum Thawaf Ifadhah




Apa yang harus dilakukan, ketika seorang wanita mengalami haid, sementara dia belum thawaf ifadah?.

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Dari A’isyah radhiyallahu ‘anha, beliau menceritakan bahwa ketika haji, A’isyah mengalami haid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuinya ketika A’isyah sedang menangis,
”Kamu kenapa, apa kamu haid?” tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
”Ya.” jawab A’isyah

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Sesungguhnya haid adalah perkara yang telah Allah tetapkan untuk putri Adam. Lakukan seperti yang dilakukan jamaah haji, hanya saja kamu tidak boleh thawaf di Ka’bah sampai kamu suci. (HR. Bukhari 294 dan Muslim 1211)

Dalam hadis yang lain juga dari A’isyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat laporan, bahwa Shafiyah radhiyallahu ‘anha mengalami haid. Kemudian beliau bersabda,
”Waduh! Kamu bakal jadi sebab kami menunggu. Apakah kamu sudah thawaf ifadah di hari raya (10 Dzulhijjah)?
”Sudah.” jawab Shafiyah.
”Silahkan pulang.” (HR. Bukhari 5329 & Muslim 1211).

Hadis ini menunjukkan bahwa andai Shafiyah belum melakukan thawaf ifadhah sebelum mengalami haid, tentu ini menjadi sebab beliau tertahan untuk tinggal di Mekah hingga suci. Sehingga hadis ini menjadi dalil mayoritas ulama, diantaranya Imam Malik, Imam as-Syafii, dan Ahmad dalam salah satu riwayat, bahwa suci dari hadats termasuk syarat sah thawaf. Karena itu, bagi wanita yang mengalami haid, dan memungkinkan baginya untuk menunggu hingga suci, misalnya karena haidnya sebentar atau dia tinggal di sekitar Mekah, atau kepulangan dia masih lama, maka dia harus menunnggu suci untuk melakukan thawaf ifadhah.

Bolehkah Thawaf dalam Kondisi Haid karena Terpaksa

Yang menjadi masalah adalah, bagaimana jika tidak memungkinkan baginya untuk menunggu? Bolehkah dia thawaf dalam keadaan haid?

Sebelumnya, di samping pendapat mayoritas ulama, di sana ada ulama yang berpendapat bahwa suci dari hadats, bukan syarat sah thawaf. Diantara yang menguatkan pendapat ini adalah Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat.
Syaikhul Islam pernah ditanya tentang wanita yang mengalami haid sebelum thawaf ifadhah. Kemudian beliau menyebutkan perbedaan pendapat di atas, selanjutnya beliau mengatakan

Menurut mereka – yang memilih pendapat kedua – mengatakan bahwa jika ada orang yang thawaf dalam keadaan junub, berhadats, atau membawa najis, maka thawafnya sah, namun dia wajib membayar dam (menyembelih). Hanya saja, para ulama madzhab hambali berbeda pendapat, apakah ini berlaku umum untuk semua orang yang memiliki udzur karena lupa sedang junub? Sementara itu, Abu Hanifah mewajibkan adanya dam berupa sapi, apabila thawaf dalam kondisi haid atau junub. Oleh karena itu, wanita yang tidak mungkin melakukan thawaf kecuali dalam keadaan haid, lebih layak untuk mendapatkan udzur (thawaf dengan haid). (Majmu’ Fatawa, 26/242)

Kemudian beliau menyebutkan beberapa alasan, mengapa wanita boleh thawaf dalam keadaan haid karena terpaksa.

Haji termasuk amal wajib, dan tidak ada satupun ulama yang mengatakan bahwa wanita haid tidak wajib haji. Dan bagian dari prinsip syariah, kewajiban tidak menjadi gugur disebabkan karena tidak mampu memenuhi salah satu syaratnya. Sebagaimana orang yang tidak mampu bersuci ketika hendak shalat, dia tetap wajib shalat meskipun dengan tayamum atau bahkan tanpa wudhu dan tayamum, seperti orang yang lumpuh dan tidak ada yang membantunya.
Haid yang dialami para wanita, sama sekali bukan kesalahannya. Murni ketetapan dari Allah. Karena itu, pendapat yang mengatakan bahwa dia harus kembali ke rumahnya dan melakukan qadha haji di tahun berikutnya adalah pendapat yang tidak benar. Karena berarti mewajibkan wanita ini dua kali safar haji disebabkan sesuatu yang itu bukan berasal dari kesalahannya. Dan ini tidak sejalan dengan prinsip syariah

Wanita tidak mungkin berangkat haji kecuali bersama rombongan. Sementara rutinitas haid datang pada waktu yang dia terkadang tidak tahu. Sehingga bisa jadi, ketika dia berangkat di tahun berikutnya, dia juga mengalami haid. Sehingga sangat sulit baginya untuk bisa thawaf dalam kondisi suci.
Bagian dari prinsip syariat bahwa orang yang tidak mampu memenuhi semua syarat ibadah, maka syarat itu menjadi gugur baginya. Sebagaimana ketika seseorang tidak bisa berjalan atau naik kendaraan, dia boleh ditandu untuk thawaf. Karena Allah berfirman,

”Bertaqwalah kepada Allah semampu kalian.” (QS. at-Thaghabun: 16)

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Apabila aku perintahkan kalian untuk melakukan sesuatu, maka kerjakanlah semampu kalian. (HR. Bukhari 7288).
(Majmu’ Fatawa, 26/242)

Keterangan Imam Ibnu Utsaimin

Imam Ibnu Utsaimin menjadikan keterangan Syaikhul Islam di atas sebagai landasan fatwa beliau, bahwa diperbolehkan seorang wanita melakukan thawaf ifadhah dalam kondisi haid karena terpaksa. Hanya saja, beliau memberikan solusi sebelumnya, dengan menggunakan obat pencegah haid. Jika darah tetap keluar, dia bisa thawaf dalam keadaaan haid. Beliau mengatakan,
Seorang wanita belum thawaf ifadhah dan dia mengalami haid, sementara dia tidak mungkin menetap di Mekah atau tidak mungkin kembali ke Mekah jika dia pulang sebelum thawaf, maka dalam kondisi ini, dia boleh menggunakan solusi salah satu dari dua pilihan:

(1)   Dia menggunakan suntik untuk menghentikan haid, sehingga dia bisa thawaf
(2)   Dia menggunakan pembalut penyumbat untuk menghalangi tetesan darah menempel di masjid, dan dia boleh thawaf karena terpaksa
Dan pendapat ini adalah pendapat yang kuat dan yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. (Fatawa Islamiyah, 2/517)

Allahu a’lam.

Dijawab oleh: Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
(Ustadz Ammi Nur Baits Beliau adalah Alumni Madinah International University, Jurusan Fiqh dan Ushul Fiqh)



0 komentar:

Posting Komentar