Minggu, 04 Agustus 2019

Wanita Haid Saat Haji




Apa saja yang boleh dilakukan oleh wanita haid saat haji dan apa yang tidak dibolehkan? Yang terasa sulit adalah ketika saat mesti melakukan thawaf ifadhah yang merupakan bagian dari rukun haji. Jika wanita mendapati haid saat ingin melaksanakan thawaf ifadhah dan ia pun tidak bisa kembali menyempurnakan hajinya tersebut setelah haidnya selesai karena negeri yang jauh, apa yang mesti ia lakukan?

Wanita Haid Saat Haji

Jika wanita telah berihram untuk haji lalu ia mendapati haid, maka ia tetap berihram sebagaimana yang lainnya. Ia melakukan semua amalan haji. Mulai dari tanggal 8 Dzulhijjah dengan melaksanakan sunnah mabit di Mina, tanggal 9 wukuf di Arafah, lalu dilanjutkan dengan mabit di Muzdalifah, dan melempar jumrah pada hari ke-10, 11, 12, atau 13 Dzulhijjah. Yang tidak boleh dilakukan oleh wanita haid hanyalah thawaf keliling Ka’bah, di samping itu wanita haid tidak melakukan ibadah yang umum yaitu shalat, puasa, dan menyentuh mushaf. (Lihat Masail Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihil Balwa, hal. 538-539).

Ketika ‘Aisyah haid saat haji, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya,

 “Lakukanlah segala sesuatu yang dilakukan orang yang berhaji selain dari melakukan thawaf di Ka’bah hingga engkau suci.”  (HR. Bukhari no. 305 dan Muslim no. 1211)

Sedangkan untuk thawaf wada’, wanita haid mendapatkan keringanan untuk meninggalkannya. Dari  Ibnu ‘Abbas, ia berkata,

“Manusia diperintahkan menjadikan akhir amalan hajinya adalah di Baitullah (dengan thawaf wada’) kecuali hal ini diberi keringanan bagi wanita haidh.” (HR. Bukhari no. 1755 dan Muslim no. 1328).

Wanita Haidh yang Tidak Mungkin Melakukan Thawaf Ifadhah Hingga Balik ke Tanah Air

Thawaf ifadhah merupakan salah satu rukun haji yang telah disepakati. Thawaf ini biasa disebut thawaf ziyaroh atau thawaf fardh. Dan biasa pula disebut thawaf rukun karena ia merupakan rukun haji. Thawaf ini tidak bisa tergantikan. Setelah dari ‘Arofah, mabit di Muzdalifah lalu ke Mina pada hari ‘ied, lalu melempar jumrah, lalu nahr (melakukan penyembelihan) dan menggunduli kepala, maka ia mendatangi Makkah, lalu thawaf keliling ka’bah untuk melaksanakan thawaf ifadhah.

Perlu dipahami terlebih dahulu:

Para ulama sepakat bahwa thawaf asalnya adalah dengan ber-thaharah (bersuci). Tidak boleh wanita haidh ber-thawaf padahal ia mampu nantinya berthawaf setelah ia suci.
Para ulama sepakat bahwa thawaf qudum (thawaf yang disyari’atkan bagi orang yang datang dari luar Makkah sebagai penghormatan kepada Baitullah Ka’bah) dan thawaf wada’ (thawaf ketika meninggalkan Makkah) tidak wajib bagi wanita haidh.
Para ulama sepakat bahwa wanita haidh dianjurkan untuk menunggu hingga suci ketika ia mendapati haidh sebelum melakukan thawaf ifadhah. Ketika ia suci barulah ia melakukan thawaf dan boleh meninggalkan Makkah (Lihat An Nawazil fil Hajj, 310-311).
Masalahnya adalah jika wanita mengalami haid lantas ia tidak bisa melaksanakan thawaf ifadhah kecuali dengan keadaan seperti itu. Apakah saat itu ia boleh melakukan thawaf tersebut dan ia sangat tidak mungkin kembali untuk menyempurnakan hajinya dengan melakukan thawaf ifadhah karena sangat jauhnya tanah airnya.

Para ulama berselisih pendapat dalam hal jika wanita haidh harus meninggalkan Makkah dan belum melaksanakan thawaf ifadhoh (yang merupakan rukun haji) dan tidak bisa lagi kembali ke Makkah, apakah ia boleh thawaf dalam keadaan haidh? Apakah sah?

Yang tepat dalam kondisi wanita haidh seperti ini, bolehnya thawaf dalam keadaan haidh meskipun kita mensyaratkan mesti harus berthoharoh ketika thawaf. Di antara alasannya, jika thaharah adalah syarat thawaf, maka kita analogikan (qiyaskan) seperti keadaan shalat. Syarat shalat jadi gugur jika dalam keadaan tidak mampu (‘ajez). Seperti kita dalam keadaan sakit dan tidak mampu berwudhu dan tayamum, maka tetap harus shalat meskipun dalam keadaan hadats. Hal ini sama pula dengan thawaf (Lihat An Nawazil fil Hajj, hal. 311-312).

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah juga mengatakan, “Inilah pendapat yang lebih menenangkan hati yaitu thawaf tidak dipersyaratkan thoharoh dari hadats kecil. Namun jika seseorang ber-thaharah (dengan berwudhu’), maka itu lebih sempurna dan lebih mencontohi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan jangan sampai kita bermudah-mudahan menyelisihi pendapat jumhur ulama (mayoritas ulama). Akan tetapi, kadangkala, apalagi dalam kondisi darurat, kita memilih pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Seperti misalnya ketika dalam kondisi sangat padat. Jika kita mengharuskan untuk berwudhu ketika wudhunya batal, lalu ia balik ke tempat thawaf dalam keadaan padat jama’ah, lebih-lebih lagi jika thawafnya masih tersisa beberapa putaran saja, maka ini tentu jadi beban yang amat berat. Padahal kondisi sudah sulit seperti ini, namun kita masih berpegang dengan dalil yang tidak jelas. Jadi kami sarankan tidak perlu mewajibkan untuk thaharah dalam kondisi demikian. Namun hendaklah mengambil sikap yang mudah dan toleran. Karena memaksa manusia padahal ada kesulitan saat itu justru malah bertentangan dengan firman Allah Ta’ala,

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al Baqarah: 185).” (Syarhul Mumthi’, 7: 262-263)

Penggunaan Obat Penghalang Haid Saat Haji

Demi mengatasi masalah yang dialami di atas, solusi yang bisa ditawarkan adalah menggunakan obat penghalang haid saat haji. Obat seperti ini masih dibolehkan apalagi di saat urgent seperti musim haji karena mengingat jarak negeri kita dengan Haramain begitu jauh sehingga sulitnya menyempurnakan ibadah tersebut jikalau wanita tiba-tiba datang bulan di tengah-tengah manasiknya. Berikut beberapa pendapat ulama yang membolehkan penggunaan obat penghalang haid.

‘Abdur Razaq telah menceritakan pada kami, (ia berkata) telah menceritakan Ibnu Jarir pada kami,  (ia berkata) bahwa ‘Atha’ ditanya mengenai seorang wanita yang datang haidh lantas ia menggunakan obat-obatan untuk menghilangkan haidh-nya padahal itu di masa haidnya, apakah ia boleh melakukan thawaf?

“Ia boleh thawaf jika ia telah suci. Jika ia melihat suatu yang kering, namun belum terlihat tanda suci, maka ia tidak boleh thawaf”, jawab ‘Atha’. (Mushannaf ‘Abdir Rozaq, 1219)

‘Abdur Rozaq telah menceritakan pada kami, (ia berkata) telah menceritakan Ma’mar pada kami,  (ia berkata) telah menceritakan pada kami Washil, bekas budak Ibnu ‘Uyainah, (ia berkata) ada seseorang yang bertanya pada Ibnu ‘Umar mengenai wanita yang begitu lama mengalami haidh lalu ia ingin mengkonsumsi obat yang dapat menghentikan darah haidhnya. Washil berkata, “Ibnu ‘Umar menganggap hal itu tidak masalah.”

Ma’mar berkata, “Aku mendengar Abu Najih menanyakan hal ini. Lantas ia menganggap perbuatan semacam itu tidak mengapa.” (Mushonnaf ‘Abdur Rozaq, 1220). Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah berkata bahwa yang benar riwayat ini adalah perkataan Abu Najih. (Jaami’ Ahkamin Nisa’, 1: 199)

Dalam Al Mughni, Ibnu Qudamah rahimahullah menyebutkan, diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah, beliau berkata, “Tidak mengapa seorang wanita mengkonsumsi obat-obatan untuk menghalangi haidh, asalkan obat tersebut baik (tidak membawa efek negatif).” (Al Mughni, 1: 450)

Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah berkata, “Jika seorang wanita menggunakan obat penghalang haidh karena uzur semisal ada hajat dalam hal ini …, maka tidak mengapa ia menggunakannya. Jika haidhnya berhenti, lekaslah ia mandi, lalu shalat dan boleh melakukan thowaf di Masjidil Haram sekehendak dia.” (Jaami’ Ahkamin Nisa’, 1: 198)

Syaikh Abu Malik –penulis kitab Shahih Fiqh Sunnah- menerangkan, “Haidh adalah ketetapan Allah bagi kaum hawa. Para wanita di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyusahkan diri mereka supaya dapat berpuasa sebulan penuh (dengan mengahalangi datangnya haidh, pen). Oleh karena itu, menggunakan obat-obatan untuk menghalangi datangnya haidh tidak dianjurkan. Akan tetapi, jika wanita muslimah tetap menggunakan obat-obatan semacam itu dan tidak memiliki dampak negatif, maka tidak mengapa. Jika ia menggunakan obat tadi dan darah haidhnya pun berhenti, maka ia dihukumi seperti wanita yang suci, artinya tetap dibolehkan puasa dan tidak ada qadha’ baginya. Wallahu a’lam.” (Shahih Fiqh Sunnah, 2: 128)

Semoga sajian ini bermanfaat bagi jama’ah haji. Hanya Allah yang memberi taufik.

  
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/18390-wanita-haid-saat-haji.html

0 komentar:

Posting Komentar