Wanita Haid Saat Haji
Apa saja yang boleh dilakukan oleh wanita haid saat haji
dan apa yang tidak dibolehkan? Yang terasa sulit adalah ketika saat mesti
melakukan thawaf ifadhah yang merupakan bagian dari rukun haji. Jika wanita
mendapati haid saat ingin melaksanakan thawaf ifadhah dan ia pun tidak bisa
kembali menyempurnakan hajinya tersebut setelah haidnya selesai karena negeri
yang jauh, apa yang mesti ia lakukan?
Wanita Haid Saat Haji
Jika wanita telah berihram untuk haji lalu ia mendapati
haid, maka ia tetap berihram sebagaimana yang lainnya. Ia melakukan semua
amalan haji. Mulai dari tanggal 8 Dzulhijjah dengan melaksanakan sunnah mabit
di Mina, tanggal 9 wukuf di Arafah, lalu dilanjutkan dengan mabit di
Muzdalifah, dan melempar jumrah pada hari ke-10, 11, 12, atau 13 Dzulhijjah.
Yang tidak boleh dilakukan oleh wanita haid hanyalah thawaf keliling Ka’bah, di
samping itu wanita haid tidak melakukan ibadah yang umum yaitu shalat, puasa,
dan menyentuh mushaf. (Lihat Masail Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihil Balwa, hal.
538-539).
Ketika ‘Aisyah haid saat haji, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda padanya,
“Lakukanlah
segala sesuatu yang dilakukan orang yang berhaji selain dari melakukan thawaf
di Ka’bah hingga engkau suci.” (HR.
Bukhari no. 305 dan Muslim no. 1211)
Sedangkan untuk thawaf wada’, wanita haid mendapatkan
keringanan untuk meninggalkannya. Dari
Ibnu ‘Abbas, ia berkata,
“Manusia diperintahkan menjadikan akhir
amalan hajinya adalah di Baitullah (dengan thawaf wada’) kecuali hal ini diberi
keringanan bagi wanita haidh.” (HR. Bukhari no. 1755 dan
Muslim no. 1328).
Wanita Haidh yang Tidak Mungkin Melakukan
Thawaf Ifadhah Hingga Balik ke Tanah Air
Thawaf ifadhah merupakan salah satu rukun haji yang telah
disepakati. Thawaf ini biasa disebut thawaf ziyaroh atau thawaf fardh. Dan
biasa pula disebut thawaf rukun karena ia merupakan rukun haji. Thawaf ini
tidak bisa tergantikan. Setelah dari ‘Arofah, mabit di Muzdalifah lalu ke Mina
pada hari ‘ied, lalu melempar jumrah, lalu nahr (melakukan penyembelihan) dan
menggunduli kepala, maka ia mendatangi Makkah, lalu thawaf keliling ka’bah
untuk melaksanakan thawaf ifadhah.
Perlu dipahami terlebih dahulu:
Para ulama sepakat bahwa thawaf asalnya adalah dengan
ber-thaharah (bersuci). Tidak boleh wanita haidh ber-thawaf padahal ia mampu
nantinya berthawaf setelah ia suci.
Para ulama sepakat bahwa thawaf qudum (thawaf yang
disyari’atkan bagi orang yang datang dari luar Makkah sebagai penghormatan
kepada Baitullah Ka’bah) dan thawaf wada’ (thawaf ketika meninggalkan Makkah)
tidak wajib bagi wanita haidh.
Para ulama sepakat bahwa wanita haidh dianjurkan untuk
menunggu hingga suci ketika ia mendapati haidh sebelum melakukan thawaf
ifadhah. Ketika ia suci barulah ia melakukan thawaf dan boleh meninggalkan
Makkah (Lihat An Nawazil fil Hajj, 310-311).
Masalahnya adalah jika wanita mengalami haid lantas ia
tidak bisa melaksanakan thawaf ifadhah kecuali dengan keadaan seperti itu.
Apakah saat itu ia boleh melakukan thawaf tersebut dan ia sangat tidak mungkin
kembali untuk menyempurnakan hajinya dengan melakukan thawaf ifadhah karena
sangat jauhnya tanah airnya.
Para ulama berselisih pendapat dalam hal jika wanita
haidh harus meninggalkan Makkah dan belum melaksanakan thawaf ifadhoh (yang
merupakan rukun haji) dan tidak bisa lagi kembali ke Makkah, apakah ia boleh
thawaf dalam keadaan haidh? Apakah sah?
Yang tepat dalam kondisi wanita haidh seperti ini,
bolehnya thawaf dalam keadaan haidh meskipun kita mensyaratkan mesti harus
berthoharoh ketika thawaf. Di antara alasannya, jika thaharah adalah syarat
thawaf, maka kita analogikan (qiyaskan) seperti keadaan shalat. Syarat shalat
jadi gugur jika dalam keadaan tidak mampu (‘ajez). Seperti kita dalam keadaan
sakit dan tidak mampu berwudhu dan tayamum, maka tetap harus shalat meskipun
dalam keadaan hadats. Hal ini sama pula dengan thawaf (Lihat An Nawazil fil
Hajj, hal. 311-312).
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah juga mengatakan, “Inilah
pendapat yang lebih menenangkan hati yaitu thawaf tidak dipersyaratkan thoharoh
dari hadats kecil. Namun jika seseorang ber-thaharah (dengan berwudhu’), maka
itu lebih sempurna dan lebih mencontohi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan
jangan sampai kita bermudah-mudahan menyelisihi pendapat jumhur ulama
(mayoritas ulama). Akan tetapi, kadangkala, apalagi dalam kondisi darurat, kita
memilih pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Seperti misalnya ketika dalam
kondisi sangat padat. Jika kita mengharuskan untuk berwudhu ketika wudhunya
batal, lalu ia balik ke tempat thawaf dalam keadaan padat jama’ah, lebih-lebih
lagi jika thawafnya masih tersisa beberapa putaran saja, maka ini tentu jadi
beban yang amat berat. Padahal kondisi sudah sulit seperti ini, namun kita
masih berpegang dengan dalil yang tidak jelas. Jadi kami sarankan tidak perlu
mewajibkan untuk thaharah dalam kondisi demikian. Namun hendaklah mengambil
sikap yang mudah dan toleran. Karena memaksa manusia padahal ada kesulitan saat
itu justru malah bertentangan dengan firman Allah Ta’ala,
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan
tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al Baqarah: 185).”
(Syarhul Mumthi’, 7: 262-263)
Penggunaan Obat Penghalang Haid Saat Haji
Demi mengatasi masalah yang dialami di atas, solusi yang
bisa ditawarkan adalah menggunakan obat penghalang haid saat haji. Obat seperti
ini masih dibolehkan apalagi di saat urgent seperti musim haji karena mengingat
jarak negeri kita dengan Haramain begitu jauh sehingga sulitnya menyempurnakan
ibadah tersebut jikalau wanita tiba-tiba datang bulan di tengah-tengah
manasiknya. Berikut beberapa pendapat ulama yang membolehkan penggunaan obat
penghalang haid.
‘Abdur Razaq telah menceritakan pada kami, (ia berkata)
telah menceritakan Ibnu Jarir pada kami,
(ia berkata) bahwa ‘Atha’ ditanya mengenai seorang wanita yang datang
haidh lantas ia menggunakan obat-obatan untuk menghilangkan haidh-nya padahal
itu di masa haidnya, apakah ia boleh melakukan thawaf?
“Ia boleh thawaf jika ia telah suci. Jika ia
melihat suatu yang kering, namun belum terlihat tanda suci, maka ia tidak boleh
thawaf”, jawab ‘Atha’. (Mushannaf ‘Abdir Rozaq, 1219)
‘Abdur Rozaq telah menceritakan pada kami, (ia berkata)
telah menceritakan Ma’mar pada kami, (ia
berkata) telah menceritakan pada kami Washil, bekas budak Ibnu ‘Uyainah, (ia
berkata) ada seseorang yang bertanya pada Ibnu ‘Umar mengenai wanita yang
begitu lama mengalami haidh lalu ia ingin mengkonsumsi obat yang dapat
menghentikan darah haidhnya. Washil berkata, “Ibnu ‘Umar menganggap hal itu
tidak masalah.”
Ma’mar berkata, “Aku mendengar Abu Najih menanyakan hal
ini. Lantas ia menganggap perbuatan semacam itu tidak mengapa.” (Mushonnaf
‘Abdur Rozaq, 1220). Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah berkata bahwa yang
benar riwayat ini adalah perkataan Abu Najih. (Jaami’ Ahkamin Nisa’, 1: 199)
Dalam Al Mughni, Ibnu Qudamah rahimahullah menyebutkan,
diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah, beliau berkata, “Tidak mengapa
seorang wanita mengkonsumsi obat-obatan untuk menghalangi haidh, asalkan obat
tersebut baik (tidak membawa efek negatif).” (Al Mughni, 1: 450)
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah berkata, “Jika
seorang wanita menggunakan obat penghalang haidh karena uzur semisal ada hajat
dalam hal ini …, maka tidak mengapa ia menggunakannya. Jika haidhnya berhenti,
lekaslah ia mandi, lalu shalat dan boleh melakukan thowaf di Masjidil Haram
sekehendak dia.” (Jaami’ Ahkamin Nisa’, 1: 198)
Syaikh Abu Malik –penulis kitab Shahih Fiqh Sunnah-
menerangkan, “Haidh adalah ketetapan Allah bagi kaum hawa. Para wanita di
masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyusahkan diri mereka
supaya dapat berpuasa sebulan penuh (dengan mengahalangi datangnya haidh, pen).
Oleh karena itu, menggunakan obat-obatan untuk menghalangi datangnya haidh
tidak dianjurkan. Akan tetapi, jika wanita muslimah tetap menggunakan
obat-obatan semacam itu dan tidak memiliki dampak negatif, maka tidak mengapa.
Jika ia menggunakan obat tadi dan darah haidhnya pun berhenti, maka ia dihukumi
seperti wanita yang suci, artinya tetap dibolehkan puasa dan tidak ada qadha’
baginya. Wallahu a’lam.” (Shahih Fiqh Sunnah, 2: 128)
Semoga sajian ini bermanfaat bagi jama’ah haji. Hanya
Allah yang memberi taufik.
—
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
Simak selengkapnya disini. Klik
https://muslim.or.id/18390-wanita-haid-saat-haji.html
0 komentar:
Posting Komentar