WUKUF DI ARAFAH, PUNCAK IBADAH HAJI
Kemuliaan dan Keistimewaan Hari Arafah
Apa saja keistimewaan hari Arafah (9 Dzulhijjah)? Adakah
keutamaan-keutamaan di hari tersebut?
Di antara keutamaan hari Arafah disebutkan oleh Ibnu
Rajab Al Hambali yang kami sarikan berikut ini:
1- Hari Arafah adalah hari disempurnakannya agama dan
nikmat. Dalam shahihain (Bukhari-Muslim), ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu
‘anhu berkata bahwa ada seorang Yahudi berkata kepada ‘Umar,
“Ada ayat dalam kitab kalian yang kalian
membacanya dan seandainya ayat tersebut turun di tengah-tengah orang Yahudi,
tentu kami akan menjadikannya sebagai hari perayaan (hari ‘ied).”
“Ayat apakah itu?” tanya ‘Umar. Ia berkata, “(Ayat yang artinya): Pada hari
ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” ‘Umar berkata,
“Kami telah mengetahui hal itu yaitu hari dan tempat di mana ayat tersebut
diturunkan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau berdiri di ‘Arofah
pada hari Jum’at.” (HR. Bukhari no. 45 dan Muslim no. 3017). At Tirmidzi
mengeluarkan dari Ibnu ‘Abbas semisal itu. Di dalamnya disebutkan bahwa ayat
tersebut turun pada hari ‘Ied yaitu hari Jum’at dan hari ‘Arofah.
2- Hari Arafah adalah hari ‘ied (perayaan) kaum muslimin.
Sebagaimana kata ‘Umar bin Al Khottob dan Ibnu ‘Abbas. Karena Ibnu ‘Abbas
berkata, “Surat Al Maidah ayat 3 tadi turun pada dua hari ‘ied: hari Jum’at
dan hari Arafah.” ‘Umar juga berkata, “Keduanya (hari Jum’at dan hari
Arafah) -alhamdulillah- hari raya bagi kami.” Akan tetapi hari Arafah
adalah hari ‘ied bagi orang yang sedang wukuf di Arafah saja. Sedangkan bagi
yang tidak wukuf dianjurkan untuk berpuasa menurut jumhur (mayoritas) ulama.
3- Hari Arafah adalah asy syaf’u (penggenap) yang Allah
bersumpah dengannya sedangkan hari Idul Adha (hari Nahr) disebut al watr
(ganjil). Inilah yang disebutkan dalam ayat,
“Dan (demi) yang genap dan yang ganjil”
(QS. Al Fajr: 3). Demikian kata Ibnu Rajab Al Hambali. Namun Ibnul Jauzi dalam
Zaadul Masiir menukil pendapat sebaliknya. Yang dimaksud al watr adalah hari
Arafah, sedangkan asy syaf’u adalah hari Nahr (Idul Adha). Demikian pendapat
Ibnu ‘Abbas, ‘Ikrimah dan Adh Dhohak.
4- Hari Arafah adalah hari yang paling utama. Demikian
pendapat sebagian ulama. Ada pula yang berpendapat bahwa hari yang paling utama
adalah hari Nahr (Idul Adha).
5- Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata, “Hari
‘Arafah lebih utama dari 10.000 hari.”’Atho’ berkata, “Barangsiapa
berpuasa pada hari ‘Arofah, maka ia mendapatkan pahala seperti berpuasa 2000
hari.”
6- Hari Arafah menurut sekelompok ulama salaf disebut
hari haji akbar. Yang berpendapat seperti ini adalah ‘Umar dan ulama lainnya.
Sedangkan ulama lain menyelisihi hal itu, mereka mengatakan bahwa hari haji
akbar adalah hari Nahr (Idul Adha).
7- Puasa pada hari Arafah akan mengampuni dosa dua tahun.
Dari Abu Qotadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Puasa Arafah (9 Dzulhijjah) dapat
menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10
Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu”
(HR. Muslim no. 1162).
8- Hari Arafah adalah hari pengampunan dosa dan
pembebasan dari siksa neraka. Dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Di antara hari yang Allah banyak membebaskan
seseorang dari neraka adalah hari Arofah. Dia akan mendekati mereka lalu akan
menampakkan keutamaan mereka pada para malaikat. Kemudian Allah berfirman: Apa
yang diinginkan oleh mereka?” (HR. Muslim no. 1348).
Allah pun begitu bangga dengan orang yang wukuf di
Arafah. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, ia berkata bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah berbangga kepada para
malaikat-Nya pada sore Arafah dengan orang-orang di Arafah, dan berkata:
“Lihatlah keadaan hambaku, mereka mendatangiku dalam keadaan kusut dan berdebu”
(HR.
Ahmad 2: 224. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanadnya tidaklah
mengapa).
Wallahu waliyyut taufiq.
Referensi:
Lathoif Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, terbitan Dar
Ibnu Katsir, cetakan kelima, 1420 H, hal. 487-489.
Artikel Muslim.Or.Id
0 komentar:
Posting Komentar