Sabtu, 20 Juli 2019

Sekilas Tentang Sejarah Masjidil Haram Di Makkah




Masjidil haram terletak di Makkah, ia adalah sebuah kota di Jazirah Arab 330 meter dari permukaan laut. Sejarah perkembangannya dimulai pada masa Ibrahim al Khalil dan putranya Isma’il –‘alaihimas salam-, di kota tersebut Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dilahirkan, juga menjadi tempat turunnya wahyu pertama kali, dari sanalah cahaya Islam bersinar, di sana juga terdapat Masjidil haram, ia merupakan masjid dibagun pertama kali untuk manusia di muka bumi, berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia”. (QS. Ali Imran: 96)

Juga sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar berkata: Saya bertanya kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang masjid pertama yang dibangun di muka bumi ?, ia menjawab: “Masjidlil haram”. Saya berkata: Lalu setelah itu?, beliau menjawab: “Masjidil Aqsha”. Saya berkata: Berapa tahun jarak dibangunnya antara kedua masjid tersebut ?, beliau menjawab: “40 tahun”.

Bangunan Ka’bah –yang merupakan qiblat umat Islam dari segala penjuru dunia- kira-kira terletak di tengah Masjidil haram yang tingginya mencapai 15 meter, seperti kamar besar yang berbentuk kubus, dibangun oleh Ibrahim –‘alaihis salam- melalui perintah Allah sebagai berikut:

“Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): "Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku` dan sujud”. (QS. al Hajj: 26)

Arti dari “Bawwa’na” : Kami memberikan petunjuk kepada Ibrahim, menyerahkannya kepadanya dan mengizinkannya untuk membangunnya. (Tafsir Ibnu Katsir)

Allah –subahanahu wa ta’ala- berfirman:

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail ". (QS. Al Baqarah: 127)

Dari Wahab bin Munabbih berkata: “Ka’bah dibangun oleh Nabi Ibrahim –‘alaihis salam-, kemudian ‘Amaliqah, kemudian Jurhum, kemudian Qushai bin Kilab dari kabilah Quraiys. Mereka orang-orang Quraisy membangun ka’bah dari bebatuan yang berasal dari lembah yang mereka pikul dipundak mereka, tinggi bangunan mencapai 20 hasta. Jarak antara bangunan ka’bah dan perintah membangunnya selama 5 tahun, dan antara pintu keluar dan bangunannya selama 15 tahun. Disebutkan oleh Abdur Razzaq dari Ma’mar dari Abdullah dari Utsman, dari abu Thufail, ia menyebutkan dari Ma’mar dari az Zuhri: “…Mereka membangunnya dan ketika sampai di pojok (tempat hajar aswad) mereka berselisih siapa yang lebih berhak untuk mengembalikannya ?, sampai satu sama lain beradu argument lalu mereka berkata: “Kami sepakat untuk memberikannya kepada seseorang yang pertama kali mendatangi jalan tertentu. Maka Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang pertama kali mendatanginya, ia pada saat itu masih seorang pemuda, mereka sudah menjadikannya hakim untuk memutuskan peletakan hajar aswad. Maka Rasulullah meletakkan kainnya, dan meyuruh ketua setiap kabilah untuk memegang tiap ujung kain tersebut, mereka pun mengangkat kain tersebut untuk dibawa kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dan beliaulah yang meletakan hajar aswad tersebut pada tempatnya”. (Tarikh Makkah/Al Azraqi/1/161-164)

Imam Muslim 2374 meriwayatkan dari ‘Aisyah berkata: Saya bertanya kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang pondasi yang tersisa, apakah pondasi tersebut masih termasuk dari ka’bah ?, beliau menjawab: “Ya”. Saya berkata: “Kenapa mereka tidak memasukkannya ke dalam ka’bah ?”. Beliau menjawab:

“Sungguh kaummu penghasilan (halal) mereka terbatas”. Saya berkata: “Kenapa pintu ka’bah dibuat tinggi ?”. Beliau menjawab: “Mereka melakukannya agar memudahkan mempersilahkan seseorang yang mereka kehendaki untuk masuk, dan melarang orang yang mereka kehendaki pula, kalau saja kaummu tidak baru saja meninggalkan masa jahiliyah dan dikhawatirkan hati mereka akan menolak, maka saya akan memasukkan pondasi tersebut ke dalam bangunan ka’bah, dan saya jadikan pintunya mendekati tanah”.

Pada masa sebelum Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dilahirkan, Ka’bah telah mendapatkan serangan dari raja Abrahah al Habasyi, yaitu; ketika ia membangun “Al Qullais” sebuah gereja yang maksudkan agar para jama’ah haji berbondong-bondong pergi kesana, karena mereka tidak mau, maka Abrahah bersama pasukan gajahnya menyerbu ka’bah, namun sesampainya mereka ke Makkah, Allah –Ta’ala- mengirimkan sekelompok burung Ababil yang masing-masing membawa tiga batu kecil, satu di paruhnya, dan dua lagi di kakinya. Tidaklah ada tentara Abrahah yang terkena batu tersebut kecuali akan binasa sesuai dengan ketentuan Allah –Azza wa Jalla-.

Allah telah menyebutkan kejadian tersebut dalam Al Qur’an:

“ Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah?, Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka`bah) itu sia-sia?, Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat)”. (QS. al Fiil: 1-5)

Dahulu tidak diperlukan tembok yang mengelilingi Ka’bah, sampai tembok tersebut dibutuhkan pada kemudian hari. Yaqut al Hamawi dalam “Mu’jam al Buldan” 5/146 berkata: “Yang pertama kali membangun dinding yang mengelilingi ka’bah adalah Umar bin Khattab-radhiyallahu ‘anhu-, pada masa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan Abu Bakar belum ada dinding yang mengelilingi Ka’bah; kebijakan tersebut diambil oleh Umar disebabkan banyak rumah-rumah warga sekitar yang terus mendekati ka’bah, maka Umar berkata: “Sesungguhnya Ka’bah ini adalah Baitullah, dan setiap rumah harus memiliki halaman, dan bangunan kalian semua telah memasuki halaman ka’bah, bukannya halaman ka’bah yang memasuki rumah kalian”.

Maka Umar membeli rumah-rumah yang berdekatan dengan ka’bah dan menghancurkannya untuk memperluas halaman ka’bah. Bagi sebagian warga yang menolak untuk dibeli Umar tetap menghancurkan rumah-rumahnya namun tetap menyediakan ganti ruginya agar bisa dimanfaatkan pada saatnya nanti. Lalu beliau membangun dinding tanpa pondasi dan meletakkan lampu di atasnya. Kemudian pada masa Utsman juga membeli rumah-rumah yang lain dengan harga yang lebih mahal tentunya, bahkan diriwayatkan bahwa beliau yang pertama kali memberinya atap pada saat ada perluasan masjid. Sedangkan pada masa Ibnu Zubair beliau mendetailkan (memperindah) bangunannya dan tidak memperluasnya, ia memberinya tiang yang berhias batu marmer, dan memperindah pintunya. Sedangkan pada masa Abdul Malik bin Marwan ia menambahkan tinggi dinding masjid, dan membawakan pagar dari Mesir lewat laut ke Jeddah dan dari Jeddah segera dibawa ke Makkah dan menyuruh Hajjaj bin Yusuf untuk memolesnya. dan ketika al Walid bin Abdul Malik memimpin ia menambahkan perhiasan ka’bah, dan merubah pancuran dan atapnya. Dan ketika Manshur dan anaknya Mahdi naik menjadi khalifah keduanya juga menambah keindahan masjid. Dan di dalam masjid terdapat beberapa situs diniyah, yaitu; maqam (tempat berdiri) Nabi Ibrahim –‘alaihis salam-, adalah batu tempat yang dipakai pijakan oleh beliau ketika membangun ka’bah. Demikian juga sumur zam-zam ia adalah mata air yang Allah –Ta’ala- keluarkan untuk ibunda Hajar dan anaknya Isma’il –alaihis salam- ketika keduanya sedang kehausan. Di sana juga terdapat hajar aswad, yang berasal dari bebatuan surga, demikian juga maqam Ibrahim. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ahmad dari Abdullah bin Amr berkata: Saya mendengar Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

“Sesungguhnya pojok (hajar aswad) dan maqam Ibrahim adalah batu mulia yang berasal dari bebatuan surga, yang Allah hilangkan cahayanya, andai saja tidak dihilangkan maka keduanya akan menyinari seluruh ufuk timur dan barat”. (HR. Tirmidzi dalam “Sunan Tirmidzi: 804)

Tidak jauh dari Masjidil haram terdapat bukit Shafa dan Marwah, ciri khusus masjidil haram adalah satu-satunya masjid menjadi rangkaian ibadah haji di muka bumi. Allah berfirman:

“Sesungguhnya Shafaa dan Marwah adalah sebahagian dari syi`ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-`umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa`i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al Baqarah: 158)

Ciri khusus yang lain, Allah –Ta’ala- menjadikan Masjidil haram dipenuhi rasa aman, mendirikan shalat di sana laksana 100.000 kali shalat. Allah –Ta’ala- berfirman:

“Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i`tikaaf, yang ruku` dan yang sujud". (QS. al Baqarah: 125)

Dalam ayat yang lain:

“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”. (QS. Ali Imran: 97)

(Sumber: https://islamqa.info)


0 komentar:

Posting Komentar