Senin, 29 Juli 2019

Musim haji berkorban di Makkah


Bagaimana Jamaah Haji Berqurban

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Sebelum kita membahas qurban bagi jamaah haji, ada bagian yang perlu kita pahami, bahwa ketika idul adha, ada 2 sembelihan yang dilakukan kaum muslimin,

[1] Berqurban (al-Udhiyah). Kegiatan ini dilakukan oleh kaum muslimin sedunia. Sesuai dengan aturan sebagaimana yang telah dipahami.

[2] al-Hadyu adalah sembelihan yang dihadiahkan untuk tanah suci Mekah dalam rangka beribadah kepada Allah. Dagingnya dibagikan ke fakir miskin di sekitar kota Mekah. Tidak semua jamaah haji disyariatkan menyembelih hadyu. Diantara yang diwajibkan menyembelih hadyu adalah jamaah haji tamattu’ atau qiran. Seperti jamaah haji Indonesia, yang umumnya mengikuti program tamattu’.

Ulama berbeda pendapat, apakah jamaah haji disyariatkan untuk berqurban ataukah tidak?

Pendapat pertama, jamaah haji, meskipun diwajibkan menyembelih hadyu, dia juga boleh berqurban. Baik qurbannya disembelih di tanah haram atau di tanah air. Ini merupakan pendapat jumhur ulama.

An-Nawawi menyebutkan,

Imam as-Syafii mengatakan dalam Bab ad-Dhahaya dalam kitab Mukhtashar al-Buthi, ‘Berqurban itu sunah bagi mereka yang memiliki kelonggaran diantara kaum muslimin, baik dia tinggal di perkotaan, desa, yang sedang safar maupun tidak safar, para jamaah haji di Mina maupun di tempat lainnya yang menyembelih al-Hadyu atau yang tidak menyembelih hadyu.‘ (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, 8/383).

Pendapat kedua, jamaah haji tidak disyariatkan untuk berqurban.

Semua kaum muslimin disyariatkan berqurban kecuali jamaah haji. Ini merupakan pendapat Imam Malik dan pandapat al-Abdari dari kalangan Syafiiyah.

An-Nawawi mengatakan,

Adapun pendapat al-Abdari, berqurban hukumnya sunah muakkad bagi setiap muslim yang memilki kemampuan, yang tinggal di perkotaan, pedesaan, maupun musafir, kecuali jamaah haji. (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, 8/383).

Sementara pendapat Imam Malik dinyatakan dalam al-Mudawwanah.

Syahnun bertanya kepada Ibnul Qasim,

Syahnun: “Apakah musafir juga disyariatkan untuk berqurban menurut Imam Malik?”

Ibnul Qasim: “Imam Malik mengatakan, musafir dan bukan musafir, hukum berqurban statusnya sama.”

Syahnun: “Apakah penduduk Mina juga berqurban, menurut Imam Malik?”

Ibnul Qoasim: “Imam Malik berkata kepadaku, ‘Jamaah haji tidak disyariatkan berqurban, meskipun dia penduduk Mina, setelah dia menjadi jamaah haji.”

Syahnun: “Semua orang disyariatkan berqurban menurut Imam Malik, kecuali jamaah haji?”

Ibnul Qoasim: “Benar.” (al-Mudawwanah, 1/550).

Dan ada hadis yang bisa kita jadikan acuan untuk menentukan pendapat yang lebih kuat,

Hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau bercerita pengalamannya melaksanakan haji bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mengalami haid di daerah Sarof. Beliau bercerita ketika di Mina,

Ketika kami di Mina, saya diberi daging sapi. Saya bertanya, ‘Ini apa?’ Mereka menjawab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban sapi atas nama para istri-istrinya.” (HR. Bukhari 5548 & Ahmad 24109).

Karena itu, insyaaAllah pendapat yang lebih mendekati adalah pendapat jumhur ulama.

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)


0 komentar:

Posting Komentar