Kamis, 18 Juli 2019

Adab Ziarah ke Masjid Nabawi agar Sesuai dengan Tuntunan




Di antara perkara yang dirindukan oleh setiap kaum muslimin adalah dapat mengunjungi dan beribadah di Masjid Nabawi karena ibadah di masjid tersebut memiliki keutamaan yang sangat besar. Mengunjungi Masjid Nabawi merupakan salah satu perkara yang dianjurkan ketika sampai di kota Madinah. Masjid lainnya yang juga dianjurkan untuk dikunjungi adalah Masjid Quba’. Selain itu, dianjurkan pula berziarah ke tiga pemakaman, yaitu (1) makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan makam dua sahabat beliau, Abu Bakr dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma; (2) kompleks pemakaman Baqi’; dan (3) makam para syuhada Uhud. (Fadhlul Madiinah, hal. 33)

Dalam tulisan singkat ini penulis akan menyebutkan beberapa adab ziarah ke Masjid Nabawi, agar ibadah tersebut sesuai dengan tuntunan dan dapat terhindar dari praktek-praktek bid’ah atau bahkan kemusyrikan.

Beribadah di Masjid Nabawi atau ziarah ke makam Nabi?

Ketika seseorang ingin berkunjung ke Masjid Nabawi, baik sebelum atau sesudah haji dan umroh, maka hendaklah dia berniat untuk mengunjungi (ziarah) Masjid Nabawi, bukan meniatkan untuk berziarah ke kubur (makam) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hal ini karena bersengaja melakukan suatu perjalaan jauh dalam rangka beribadah kepada Allah Ta’ala tidak boleh dilakukan kecuali untuk menuju tiga masjid saja (Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha). Jadi, tidak boleh meniatkan suatu perjalanan untuk ibadah dalam bentuk ziarah ke makam tertentu, termasuk makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
  
“Tidak boleh mengadakan safar (perjalanan jauh) (dalam rangka ibadah taqarrub kepada Allah Ta’ala, pent.) kecuali menuju tiga masjid: Masjidil Haram, masjidku ini (yaitu Masjid Nabawi) dan Masjidil Aqsha.” (HR. Bukhari no.1189 dan Muslim no. 1397)

Hal ini adalah penjagaan dari syariat agar umat Islam tidak mengkeramatkan suatu tempat tertentu, yaitu dengan meyakini bahwa dengan beribadah di tempat-tempat tertentu -selain tiga masjid tersebut- memiliki keutamaan atau berkah tersendiri, lebih dari ibadah di tempat lainnya.

Jadi, hendaknya niat pokok seseorang adalah beribadah di Masjid Nabawi, bukan ziarah ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun jika setelah tiba di Masjid Nabawi lalu ingin sekalian berziarah ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak masalah, atau bahkan dianjurkan karena ziarah kubur termasuk amal yang sunnah. Yang menjadi masalah (baca: dilarang) adalah jika ziarah kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dijadikan sebagai niat (maksud) pokok seseorang.
  
Membaca doa masuk masjid dan memperbanyak shalat di Masjid Nabawi

Ketika memasuki Masjid Nabawi, hendaknya mendahulukan kaki kanan dan membaca doa masuk masjid sebagaimana hal ini merupakan adab masuk masjid secara umum,

“Bismillahi was shalaatu was salaamu ‘ala Rasulillah, allahumaghfirlii dzunuubii waftahlii abwaaba rahmatika, a’uudzubillaahil ‘adziim, wa bi wajhihil kariim, wa sulthaanihil qadiim, minasy syaithaanir rajiim.”

“Bismillah, shalawat dan salam untuk Rasulullah. Ya Allah, ampunilah dosaku dan bukakanlah pintu rahmat-Mu untukku. Aku berlindung kepada Allah Yang Maha agung, dengan wajah-Nya yang mulia, dengan kekuasaannya yang langgeng, dari setan yang terkutuk.”

Setelah di masjid, hendaknya dia mendirikan shalat sesuai dengan yang dikehendaki. Karena sesungguhnya shalat di Masjid Nabawi memiliki keutamaan yang sangat besar. Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Shalat di masjidku ini (Masjid Nabawi) itu lebih baik dari 1000 shalat di masjid lainnya, selain di Masjidil Haram.” (HR. Bukhari no. 1190 dan Muslim no. 1394)

Mendirikan shalat dan beribadah di raudhah

Jika memungkinkan, hendaknya shalat tersebut dilaksanakan di bagian raudhah, yaitu area Masjid Nabawi yang berada di antara mimbar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kamar beliau yang sekarang di dalamnya ada makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Area raudhah ini saat ini ditandai dengan karpet berwarna hijau dan mendapatkan penjagaan khusus karena banyaknya jamaah yang berebut masuk ke area tersebut.

Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Antara rumahku dan mimbarku adalah raudhah (taman) dari taman-taman surga.” (HR. Tirmidzi no. 3915 dan 3916, dinilai hasan shahih oleh Al-Albani)

Di antara kesalahan kaum muslimin ketika beribadah di raudhah antara lain mereka mengusap-usap mimbar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena meyakini keberkahannya. Atau, mereka memasuki raudhah bukan dalam rangka beribadah di raudhah, akan tetapi dalam rangka mendekati dan beribadah di makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini tidaklah terjadi kecuali disebabkan oleh lemahnya pemahaman sebagian kaum muslimin terhadap aqidah yang benar.

Minimal singgah di kota Madinah adalah delapan hari agar bisa menunaikan shalat arba’in di Masjid Nabawi

Di antara pemahaman yang cukup tersebar di tengah-tengah kaum muslimin, misalnya yang menunaikan ibadah haji, adalah minimal singgah di kota Madinah adalah delapan hari agar bisa menunaikan shalat wajib 40 waktu (arba’in) di Masjid Nabawi (8 hari kali 5 shalat wajib per hari). Hal ini karena keyakinan mereka bahwa shalat arba’in tersebut memiliki keutamaan khusus.

Pemahaman ini didasari oleh hadits berikut ini,

“Barangsiapa shalat di masjidku sebanyak empat puluh shalat tanpa ada yang ketinggalan, maka dia akan dicatat terbebas dari neraka, selamat dari siksaan, dan terbebas dari kemunafikan.”

Tentang sanad hadits ini, Syaikh Al-Albani rahimahullahu Ta’ala mengatakan,

“Sanad hadits ini lemah (dha’if).” (Silsilah Adh-Dha’ifah, hadits no. 364)

Karena hadits tersebut dha’if, maka tidak selayaknya kita meyakini hal semacam ini. Artinya, tidak ada anjuran batasan waktu untuk tinggal delapan hari di kota Madinah agar bisa shalat 40 waktu di Masjid Nabawi. Dengan kata lain, lama waktu tinggal di Madinah selama haji dan umroh itu disesuaikan dengan kebutuhan, bisa hanya sebentar, atau selama beberapa hari menyesuaikan keadaan.

Berziarah ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Setelah beribadah di raudhah, jika seseorang ingin berziarah ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hendaknya dia berdiri di depan makam beliau dengan penuh adab dan tenang, lalu mengucapkan doa,

“Assalaamu’alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barakaatuhu. Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa shalayta ‘ala aali Ibrahim, innaka hamiidum majiid. Allahumma baarik ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhamamd kamaa baarakta ‘ala aali Ibrahim, innaka hamiidum majid. Asyhadu annaka Rasulullahi haqgan, wa annaka qad ballaghtar risaalata, wa addaital amaanata, wa nashahtal ummata, wa jaahadta fil laahi haqqa jihaadihi, fajazaakallahu ‘ala ummatika afdhalu ma jaza nabiyyuna ‘an ummatihi.”


(Ya Allah semoga shalawat terlimpah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana shalawat terlimpah kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya Allah semoga keberkahan terlimpah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau berkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Aku bersaksi bahwa Engkau (Muhammad) adalah Rasulullah yang haq. [Aku bersaksi bahwa Engkau] (Muhammad) telah menyampaikan risalah kenabian, telah menunaikan amanah, telah menasihati umat ini, dan berjihad di jalan Allah dengan sungguh-sungguh. Semoga Allah membalasmu atas apa yang telah Engkau perbuat untuk umatmu, lebih dari balasan para Nabi atas apa yang telah mereka perbuat untuk umatnya.).”

Setelah itu, dia bergeser ke arah kanan sedikit, dan mengucapkan salam kepada sahabat Abu Bakar Ash-Shidiq radhiyallahu ‘anhu. Kemudian bergeser lagi ke kanan sedikit dan mengucapkan salam kepada sahabat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Jika setelah itu dilanjutkan dengan mendoakan keduanya, itu juga baik.

Selain itu, disunnahkan pula bagi peziarah kubur untuk mendoakan mereka yang sudah meninggal, berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Buraidah bin Al-Hushaib radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada para sahabat pada saat hendak masuk ke pemakaman, yaitu mengucapkan:

“Assalaamu ‘alaikum ahlad diyaar minal mu’miniin wal muslimiina, wa innaa insyaa Allah bikum lalaahiquun. As’alullaaha lanaa wa lakum al-‘aafiyata.”

“Semoga keselamatan atas kalian wahai para penghuni kubur yang mukmin dan muslim. Kami insyaa Allah akan menyusul kalian. Saya memohon ‘afiyah (keselamatan) kepada Allah untuk kami dan kalian.” (HR. Muslim no. 2257)

Berkaitan dengan ziarah ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak boleh bagi seseorang untuk:

Berdoa meminta langsung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar kebutuhannya dipenuhi atau agar dihilangkan kesusahan dari dirinya, atau doa-doa lainnya yang tidak selayaknya ditujukan kepada selain Allah Ta’ala. Karena semua penghuni kubur (mayit) itu didoakan dengan doa kebaikan, bukan berdoa meminta kepada mereka.
Meletakkan kedua tangannya di dada ketika menghadap kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana keadaan ketika shalat. Hal ini juga tidak diperbolehkan karena menunjukkan ketundukan dan perendahan diri kepada selain Allah Ta’ala.
Mengusap-usap dinding dan jendela makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Atau mencium dinding makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berdoa. Perbuatan semacam ini merupakan perantara menuju kemusyrikan.
An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullahu Ta’ala berkata, “Siapa saja yang beranggapan bahwa mengusap (dinding kubur Nabi) dengan tangan dapat mendatangkan keberkahan, maka hal ini merupakan kebodohan dan kelalaiannya. Karena keberkahan itu terdapat dalam hal yang sesuai (cocok) dengan syari’at. Bagaimana keutamaan bisa didapatkan dengan menyelisihi kebenaran?” (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 8: 206)

Thawaf mengelilingi makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara thawaf mengelilingi masjid Nabawi. Karena ibadah thawaf hanya dilakukan terhadap ka’bah di Masjidil Haram.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Kaum muslimin sepakat bahwa thawaf tidak boleh dilakukan kecuali di sekitar Al-Baitul Ma’mur (Ka’bah). Tidak boleh thawaf mengelilingi Baitul Maqdis (Masjid Al-Aqsha, pent.), tidak boleh juga mengelilingi kamar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga tidak boleh mengelilingi kubah di atas bukit ‘Arafah, dan lain-lain.” (Majmu’ Al-Fataawa, 4: 521)

Meninggikan (mengeraskan) suara ketika berada di sisi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini tidak diperbolehkan karena Allah Ta’ala telah mengajarkan adab kepada orang-orang beriman ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di tengah-tengah mereka dengan mengatakan,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi. Dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari. Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah, mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al Hujurat [49]: 2-3)

Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-Badr hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dihormati dan dimuliakan, baik ketika beliau masih hidup atau ketika sudah meninggal dunia.” (Fadhlul Madiinah, hal. 45)

Bersengaja menghadap makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tempat yang jauh, baik ketika di dalam Masjid Nabawi atau di luar masjid, dan mengucapkan salam kepada beliau.
Terlalu lama berdiri di sisi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau memperbanyak ziarah ke kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (bolak-balik berziarah). Karena perbuatan ini dikhawatirkan akan menjerumuskan ke dalam ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama yang terlarang.
Semua ini adalah dalam rangka menjaga dan melindungi tauhid dari noda-noda kemusyrikan yang mengotorinya. Juga karena ibadah itu dilandasi dengan syariat Allah dan Rasul-Nya, dibangun di atas ittiba’ (mengikuti petunjuk Nabi), bukan di atas ibtida’ (berbuat bid’ah).

 [Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.Or.Id


0 komentar:

Posting Komentar