Adab Ziarah ke Masjid Nabawi agar Sesuai dengan Tuntunan
Di antara perkara yang dirindukan oleh setiap kaum
muslimin adalah dapat mengunjungi dan beribadah di Masjid Nabawi karena ibadah
di masjid tersebut memiliki keutamaan yang sangat besar. Mengunjungi Masjid
Nabawi merupakan salah satu perkara yang dianjurkan ketika sampai di kota
Madinah. Masjid lainnya yang juga dianjurkan untuk dikunjungi adalah Masjid
Quba’. Selain itu, dianjurkan pula berziarah ke tiga pemakaman, yaitu (1) makam
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan makam dua sahabat beliau, Abu Bakr dan
‘Umar radhiyallahu ‘anhuma; (2) kompleks pemakaman Baqi’; dan (3) makam para
syuhada Uhud. (Fadhlul Madiinah, hal. 33)
Dalam tulisan singkat ini penulis akan menyebutkan
beberapa adab ziarah ke Masjid Nabawi, agar ibadah tersebut sesuai dengan
tuntunan dan dapat terhindar dari praktek-praktek bid’ah atau bahkan
kemusyrikan.
Beribadah di Masjid Nabawi atau ziarah ke
makam Nabi?
Ketika seseorang ingin berkunjung ke Masjid Nabawi, baik
sebelum atau sesudah haji dan umroh, maka hendaklah dia berniat untuk
mengunjungi (ziarah) Masjid Nabawi, bukan meniatkan untuk berziarah ke kubur
(makam) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hal ini karena bersengaja melakukan suatu perjalaan jauh
dalam rangka beribadah kepada Allah Ta’ala tidak boleh dilakukan kecuali untuk
menuju tiga masjid saja (Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha).
Jadi, tidak boleh meniatkan suatu perjalanan untuk ibadah dalam bentuk ziarah
ke makam tertentu, termasuk makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak boleh mengadakan safar (perjalanan
jauh) (dalam rangka ibadah taqarrub kepada Allah Ta’ala, pent.) kecuali menuju
tiga masjid: Masjidil Haram, masjidku ini (yaitu Masjid Nabawi) dan Masjidil
Aqsha.” (HR. Bukhari no.1189 dan Muslim no. 1397)
Hal ini adalah penjagaan dari syariat agar umat Islam
tidak mengkeramatkan suatu tempat tertentu, yaitu dengan meyakini bahwa dengan
beribadah di tempat-tempat tertentu -selain tiga masjid tersebut- memiliki
keutamaan atau berkah tersendiri, lebih dari ibadah di tempat lainnya.
Jadi, hendaknya niat pokok seseorang adalah beribadah di
Masjid Nabawi, bukan ziarah ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun
jika setelah tiba di Masjid Nabawi lalu ingin sekalian berziarah ke makam Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak masalah, atau bahkan dianjurkan
karena ziarah kubur termasuk amal yang sunnah. Yang menjadi masalah (baca:
dilarang) adalah jika ziarah kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut
dijadikan sebagai niat (maksud) pokok seseorang.
Membaca doa masuk masjid dan memperbanyak
shalat di Masjid Nabawi
Ketika memasuki Masjid Nabawi, hendaknya mendahulukan
kaki kanan dan membaca doa masuk masjid sebagaimana hal ini merupakan adab
masuk masjid secara umum,
“Bismillahi was shalaatu was salaamu ‘ala
Rasulillah, allahumaghfirlii dzunuubii waftahlii abwaaba rahmatika,
a’uudzubillaahil ‘adziim, wa bi wajhihil kariim, wa sulthaanihil qadiim, minasy
syaithaanir rajiim.”
“Bismillah, shalawat dan salam untuk
Rasulullah. Ya Allah, ampunilah dosaku dan bukakanlah pintu rahmat-Mu untukku.
Aku berlindung kepada Allah Yang Maha agung, dengan wajah-Nya yang mulia,
dengan kekuasaannya yang langgeng, dari setan yang terkutuk.”
Setelah di masjid, hendaknya dia mendirikan shalat sesuai
dengan yang dikehendaki. Karena sesungguhnya shalat di Masjid Nabawi memiliki
keutamaan yang sangat besar. Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Shalat di masjidku ini (Masjid Nabawi) itu
lebih baik dari 1000 shalat di masjid lainnya, selain di Masjidil Haram.”
(HR. Bukhari no. 1190 dan Muslim no. 1394)
Mendirikan shalat dan beribadah di raudhah
Jika memungkinkan, hendaknya shalat tersebut dilaksanakan
di bagian raudhah, yaitu area Masjid Nabawi yang berada di antara mimbar Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kamar beliau yang sekarang di dalamnya ada
makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Area raudhah ini saat ini ditandai
dengan karpet berwarna hijau dan mendapatkan penjagaan khusus karena banyaknya
jamaah yang berebut masuk ke area tersebut.
Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Antara rumahku dan mimbarku adalah raudhah
(taman) dari taman-taman surga.” (HR. Tirmidzi no. 3915 dan
3916, dinilai hasan shahih oleh Al-Albani)
Di antara kesalahan kaum muslimin ketika beribadah di
raudhah antara lain mereka mengusap-usap mimbar Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam karena meyakini keberkahannya. Atau, mereka memasuki raudhah bukan dalam
rangka beribadah di raudhah, akan tetapi dalam rangka mendekati dan beribadah
di makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini tidaklah terjadi kecuali
disebabkan oleh lemahnya pemahaman sebagian kaum muslimin terhadap aqidah yang
benar.
Minimal singgah di kota Madinah adalah
delapan hari agar bisa menunaikan shalat arba’in di Masjid Nabawi
Di antara pemahaman yang cukup tersebar di tengah-tengah
kaum muslimin, misalnya yang menunaikan ibadah haji, adalah minimal singgah di
kota Madinah adalah delapan hari agar bisa menunaikan shalat wajib 40 waktu
(arba’in) di Masjid Nabawi (8 hari kali 5 shalat wajib per hari). Hal ini
karena keyakinan mereka bahwa shalat arba’in tersebut memiliki keutamaan
khusus.
Pemahaman ini didasari oleh hadits berikut ini,
“Barangsiapa shalat di masjidku sebanyak
empat puluh shalat tanpa ada yang ketinggalan, maka dia akan dicatat terbebas
dari neraka, selamat dari siksaan, dan terbebas dari kemunafikan.”
Tentang sanad hadits ini, Syaikh Al-Albani rahimahullahu
Ta’ala mengatakan,
“Sanad hadits ini lemah (dha’if).”
(Silsilah Adh-Dha’ifah, hadits no. 364)
Karena hadits tersebut dha’if, maka tidak
selayaknya kita meyakini hal semacam ini. Artinya, tidak ada anjuran batasan
waktu untuk tinggal delapan hari di kota Madinah agar bisa shalat 40 waktu di
Masjid Nabawi. Dengan kata lain, lama waktu tinggal di Madinah selama haji dan
umroh itu disesuaikan dengan kebutuhan, bisa hanya sebentar, atau selama
beberapa hari menyesuaikan keadaan.
Berziarah ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam
Setelah beribadah di raudhah, jika seseorang ingin berziarah
ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hendaknya dia berdiri di depan
makam beliau dengan penuh adab dan tenang, lalu mengucapkan doa,
“Assalaamu’alaika ayyuhan nabiyyu wa
rahmatullahi wa barakaatuhu. Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala aali
Muhammad kamaa shalayta ‘ala aali Ibrahim, innaka hamiidum majiid. Allahumma
baarik ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhamamd kamaa baarakta ‘ala aali Ibrahim,
innaka hamiidum majid. Asyhadu annaka Rasulullahi haqgan, wa annaka qad
ballaghtar risaalata, wa addaital amaanata, wa nashahtal ummata, wa jaahadta
fil laahi haqqa jihaadihi, fajazaakallahu ‘ala ummatika afdhalu ma jaza
nabiyyuna ‘an ummatihi.”
(Ya Allah semoga shalawat terlimpah kepada
Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana shalawat terlimpah kepada Ibrahim
dan keluarga Ibrahim, Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya Allah semoga
keberkahan terlimpah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau
berkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi
Maha Mulia. Aku bersaksi bahwa Engkau (Muhammad) adalah Rasulullah yang haq.
[Aku bersaksi bahwa Engkau] (Muhammad) telah menyampaikan risalah kenabian,
telah menunaikan amanah, telah menasihati umat ini, dan berjihad di jalan Allah
dengan sungguh-sungguh. Semoga Allah membalasmu atas apa yang telah Engkau
perbuat untuk umatmu, lebih dari balasan para Nabi atas apa yang telah mereka
perbuat untuk umatnya.).”
Setelah itu, dia bergeser ke arah kanan sedikit, dan
mengucapkan salam kepada sahabat Abu Bakar Ash-Shidiq radhiyallahu ‘anhu.
Kemudian bergeser lagi ke kanan sedikit dan mengucapkan salam kepada sahabat
‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Jika setelah itu dilanjutkan dengan
mendoakan keduanya, itu juga baik.
Selain itu, disunnahkan pula bagi peziarah kubur untuk mendoakan
mereka yang sudah meninggal, berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang diriwayatkan dari Buraidah bin Al-Hushaib radhiyallahu ‘anhu,
dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada para
sahabat pada saat hendak masuk ke pemakaman, yaitu mengucapkan:
“Assalaamu ‘alaikum ahlad diyaar minal
mu’miniin wal muslimiina, wa innaa insyaa Allah bikum lalaahiquun. As’alullaaha
lanaa wa lakum al-‘aafiyata.”
“Semoga keselamatan atas kalian wahai para
penghuni kubur yang mukmin dan muslim. Kami insyaa Allah akan menyusul kalian.
Saya memohon ‘afiyah (keselamatan) kepada Allah untuk kami dan kalian.” (HR.
Muslim no. 2257)
Berkaitan dengan ziarah ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, maka tidak boleh bagi seseorang untuk:
Berdoa meminta langsung kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam agar kebutuhannya dipenuhi atau agar dihilangkan kesusahan
dari dirinya, atau doa-doa lainnya yang tidak selayaknya ditujukan kepada
selain Allah Ta’ala. Karena semua penghuni kubur (mayit) itu didoakan dengan
doa kebaikan, bukan berdoa meminta kepada mereka.
Meletakkan kedua tangannya di dada ketika menghadap kubur
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana keadaan ketika shalat. Hal ini
juga tidak diperbolehkan karena menunjukkan ketundukan dan perendahan diri
kepada selain Allah Ta’ala.
Mengusap-usap dinding dan jendela makam Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Atau mencium dinding makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika berdoa. Perbuatan semacam ini merupakan perantara menuju
kemusyrikan.
An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullahu Ta’ala berkata, “Siapa
saja yang beranggapan bahwa mengusap (dinding kubur Nabi) dengan tangan dapat
mendatangkan keberkahan, maka hal ini merupakan kebodohan dan kelalaiannya.
Karena keberkahan itu terdapat dalam hal yang sesuai (cocok) dengan syari’at.
Bagaimana keutamaan bisa didapatkan dengan menyelisihi kebenaran?” (Al-Majmu’
Syarh Al-Muhadzdzab, 8: 206)
Thawaf mengelilingi makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan cara thawaf mengelilingi masjid Nabawi. Karena ibadah thawaf
hanya dilakukan terhadap ka’bah di Masjidil Haram.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Kaum
muslimin sepakat bahwa thawaf tidak boleh dilakukan kecuali di sekitar
Al-Baitul Ma’mur (Ka’bah). Tidak boleh thawaf mengelilingi Baitul Maqdis
(Masjid Al-Aqsha, pent.), tidak boleh juga mengelilingi kamar Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, juga tidak boleh mengelilingi kubah di atas bukit ‘Arafah,
dan lain-lain.” (Majmu’ Al-Fataawa, 4: 521)
Meninggikan (mengeraskan) suara ketika berada di sisi
kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini tidak diperbolehkan karena
Allah Ta’ala telah mengajarkan adab kepada orang-orang beriman ketika Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di tengah-tengah mereka dengan mengatakan,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
meninggikan suaramu melebihi suara Nabi. Dan janganlah kamu berkata kepadanya
dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap
sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak
menyadari. Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah,
mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk
bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.”
(QS. Al Hujurat [49]: 2-3)
Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-Badr hafidzahullahu Ta’ala
berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dihormati dan dimuliakan,
baik ketika beliau masih hidup atau ketika sudah meninggal dunia.” (Fadhlul
Madiinah, hal. 45)
Bersengaja menghadap makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dari tempat yang jauh, baik ketika di dalam Masjid Nabawi atau di luar
masjid, dan mengucapkan salam kepada beliau.
Terlalu lama berdiri di sisi kubur Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam atau memperbanyak ziarah ke kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam (bolak-balik berziarah). Karena perbuatan ini dikhawatirkan akan
menjerumuskan ke dalam ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama yang terlarang.
Semua ini adalah dalam rangka menjaga dan melindungi
tauhid dari noda-noda kemusyrikan yang mengotorinya. Juga karena ibadah itu
dilandasi dengan syariat Allah dan Rasul-Nya, dibangun di atas ittiba’
(mengikuti petunjuk Nabi), bukan di atas ibtida’ (berbuat bid’ah).
[Selesai]
***
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.Or.Id
0 komentar:
Posting Komentar